Sukses Preview di Tangan Adrizal dan Itang Yunasz
Hanya dalam lima tahun sejak diluncurkan, Preview sukses menjadi market leader dan acuan baju koko di Pasar Tanah Abang dan sejumlah pasar di Tanah Air. Bagaimana duet Adrizal dan Itang Yunasz membesarkannya?
Melihat halaman depan brosur Preview yang menampilkan
foto Tamara Blezinsky dan seorang pria muda yang sedang memperagakan
pakaian, tentu tak akan ada yang menyangka bahwa pria itu adalah pemilik
Preview. Gayanya yang elegan serta postur dan wajah yang mendukung,
membuatnya tak kalah dari foto model profesional.
Adrizal, nama pria berdarah Minang berusia 35 tahun
ini, cukup beken di Pasar Tanah Abang berkat keberhasilannya menjadikan
Preview sebagai pemimpin pasar di kategori baju koko. Kini ia telah
memiliki jaringan 20 gerai (toko). Lima gerai milik sendiri dan
selebihnya 15 gerai merupakan gerai mitra yang tersebar di luar Pasar
Tanah Abang seperti ITC Cempaka Mas, Blok M Square, PGC Cililitan, plus
gerai di luar kota seperti di Pekanbaru, Surabaya, Semarang, Palembang,
Samarinda, Medan, Bukittinggi dan Bandung.
Menurut Jasman Usman, Konsultan Preview, 11 dari 15
gerai mitra Preview adalah mereka yang menjalankannya dengan sistem
keagenan platinum. Sisanya gerai yang mendapat hak eksklusif dari
manajemen Preview karena melihat potensi daya jualnya. Menurut lulusan
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia angkatan 2002 ini, hak eksklusif
diberikan pendiri Preview – Adrizal dan desainer Itang Yunasz – karena
omsetnya lebih besar dari toko milik Preview sendiri. Contoh pemegang
hak eksklusif ini adalah Department Store Muslim Tahira di Bandung dan
Bursa Sajadah yang menjual perlengkapan haji.
Usia Preview sebenarnya masih tergolong muda, karena
baru dilahirkan pada 2005. Adrizal yang lulusan STIE YAI bidang
Manajemen Pemasaran ketika itu punya ide membuat terobosan baru bisnis
pakaian muslim yang memproduksi secara massal. Ini berawal dari
pertemuannya dengan Itang pada awal 2005. Saat itu ia menawari Itang
peluang usaha membuat produk massal yang bisa masuk ke Pasar Tanah
Abang. Menurut Adrizal, butuh waktu tiga bulan buat meyakinkan perancang
busana kondang ini. Ia katakan kepada Itang bahwa selama ini ia sudah
eksis di Pasar Tanah Abang dan pada suatu kesempatan ia ingin
memperlihatkan bisnisnya kepada Itang. Di saat yang hampir sama, ia
sering melihat UJ – Ustaz Jeffry – tampil di televisi dan sesekali
memakai koleksi Itang. Belakangan, kolaborasi inilah yang menjadi
persiapan awal masuk ke pasar baju muslim di Indonesia.
Rupanya tawarannya diperhatikan Itang. Kebetulan
Itang juga mulai fokus mendesain pakaian muslim untuk dijual di
butiknya. Pada titik itulah Adrizal melihat ada kesempatan memproduksi
koleksi desain Itang Yunasz tetapi untuk pasar ritel. Kala itu ia tidak
memproduksi sendiri baju koko yang revolusioner dan bisa dipakai segala
usia. Sebagai orang muda, ia hanya membutuhkan baju koko yang sedikit
berbeda dari model baju koko saat itu.
Sebelum produksi, Adrizal bersama Itang memilih merek
yang hendak dipakai. Muncul beberapa alternatif nama, sampai akhirnya
ketemu merek Preview yang dinilai familier dan mudah diingat. Langkah
berikutnya, produksi barang dan menyewa ikon. Dari situ ia
menyosialisasikan ke media promosi yang lain seperti majalah, tabloid,
koran dan sebagainya. “Kami juga barter dengan stasiun TV, meminjamkan
baju ke mereka dengan logo credit title dan leaflet. Cara ini sangat efektif. Kami menyebutnya pemasaran tanpa pemasaran alias getok tular,” ujar Adrizal.
Toh, ia enggan membicarakan perihal kepemilikan saham
dan bagaimana sistem kerja samanya dengan desainer papan atas tersebut.
“Soal permodalan saya dan Itang sepakat bahwa ini hanya menjadi catatan
kekeluargaan kami,” ungkapnya.
Diakui Adrizal, semua pebisnis merasakan tantangan
terberat ketika memperkenalkan merek dan juga ketika menghadapi
keterbatasan modal. Perencanaan keuangan menjadi suatu yang vital. “Jika
ujian ini lulus, maka bisnis kami pasti berkembang,” ujar Adrizal.
Diungkapkan Adrizal, waktu pertama kali dipasarkan,
respons pasar lumayan positif karena dari awal ia melihat adanya spot
kosong pasar baju muslim. Peluang ini sangat membantunya memperkenalkan
produk. Tahun-tahun pertama tanggapan pasar lumayan bagus dan seterusnya
ia belajar dan memperhatikan setiap kelemahan. Ia juga berusaha
meningkatkan mutu, mendekatkan diri dengan end user dan
memahami keinginan pasar yang beraneka ragam, serta menyesuaikannya
semaksimal mungkin untuk mengakomodasi permintaan tersebut.
Soal harga produk, dari awal peluncuran sampai hari
ini masih tetap sama. Namun seiring berkembangnya usaha, Adrizal
mengembangkan varian produk lain dengan harga yang berbeda atau lebih
mahal. “Saya menyadari bahwa kenaikan harga merupakan kenyataan pahit
bagi pembeli,” katanya.
Di Preview, semua desain menjadi otoritas Itang,
sedangkan produksi otoritas Adrizal. “Saya kasih masukan dan arahan
karena yang mengerti pasarnya saya. Sedangkan, beliau idealisme seorang
seniman,” ujarnya. Namun, Adrizal mengaku ia selalu mengikutkan setiap
komponen di perusahaannya berperan dalam proses produksi. Misalnya,
dalam setiap penentuan prioritas desain yang akan diproduksi, ia
melibatkan frontliner dan tim pemasaran, karena merekalah yang
selalu dekat dengan konsumen. Tujuannya, agar keputusan produksi lebih
mendekat ke sasaran. “Kami belum punya kesepakatan soal angka minimal
desain yang harus dibuat oleh Itang karena sampai hari ini Itang masih
mempunyai banyak stok desain yang belum sempat saya produksi. Inilah
nilai lebih dari sense of belonging,” Adrizal menuturkan.
Menurutnya, setiap desain baru diusahakan menjadi terobosan dan diproduksi terbatas (limited edition). Satu item
desain hanya diproduksi 300-500 potong. Dalam satu bulan, Itang bisa
menawarkan sekitar 40 desain. Dari koleksi desain itu Adrizal akan
memilih sekitar 30% setiap bulannya. “Kalau desainnya bagus banget tak
perlu menunggu satu minggu sudah habis,” kata Adrizal.
Ide desain bisa diperoleh Adrizal dan Itang dari mana
saja. Dari kebutuhan pasar, majalah, Internet, bahkan masukan dari
kolega mereka di luar negeri seperti Bangladesh, India dan Pakistan.
Kebetulan saat itu datang seorang berpakaian gamis membawa beberapa
potong gamis buatan Bangladesh yang dijadikan benchmark koleksi
desain Preview selanjutnya. “Prinsip kami, sebanyak apa kami kasih sama
orang sebanyak itu pula kami memperoleh manfaatnya,” ucap Adrizal yang
sejak usia 11 tahun sudah belajar mencari uang dengan menjajakan kantong
plastik di Padang, Sumatera Barat.
Belakangan untuk meningkatkan citra Preview, Adrizal
menggunakan sosok Tamara Blezinsky sebagai ikon produk busana wanitanya.
Respons pasar ternyata senang melihat pemain sinetron ini berbusana
muslim. Sebelumnya Preview memakai UJ sebagai ikon Preview. Selain
Tamara, pihaknya juga menggaet beberapa artis seperti Dhini Aminarti dan
Dimas Seto, plus dai asal Palembang, Ustaz Ahmad.
Lalu, bagaimana kinerja Preview sekarang? “Cukup
baik!” kata Adrizal. Diakuinya, ia belum mempunyai pembanding dan ukuran
yang bisa dijadikan panduan untuk menilai secara persis kinerjanya.
Yang pasti, volume produksinya bisa sampai 7 ribu potong per bulan yang
biasanya tersalur pada momen Lebaran. “Selain Jakarta, pasar kami yang
cukup besar ada di Makassar, Bandung, Surabaya dan Medan. Per orang dari
mereka bisa beli 500 potong sekali order.” Adrizal mengakui, persaingan
lumayan ketat karena banyak sekali produsen pakaian serupa. Ia sendiri
melihat persaingan, kendala dan risiko sebagai proses pendewasaan
bisnis. Soal pembajakan merek atau penjiplakan, salah satu cara
menghindarinya adalah dengan mendaftarkan mereknya dan ia bersyukur baik
merek label maupun gerai sudah didaftarkan.
Menurut Adrizal, bisnis baju koko bersifat musiman.
Usai Lebaran Haji sampai satu bulan menjelang Ramadan, penjualan agak
sepi. Toh, pihaknya tetap berproduksi, selama kurang-lebih 8 bulan hasil
produksi itu disimpan kemudian baru dilempar ke pasar di musim Lebaran.
Pada momen ini model yang up-to-date dikeluarkan dan angka
penjualan pun bisa naik sampai lima kali lipat. Untuk mengisi kekosongan
pasar, Adrizal mengembangkan produk pakaian wanita dan anak-anak.
Tujuannya juga untuk menutupi biaya seperti membayar karyawan,
pemasaran, promosi dan biaya operasional lainnya. Adapun harganya, yang
ia gunakan adalah harga fix price dengan margin keuntungan
berkisar 30%-50%. Ia mengaku tak banyak melakukan perubahan harga dari
dulu hingga sekarang. Namun, untuk menaikkan harga, caranya dengan
meluncurkan item baju koko baru yang memiliki kualitas bahan
kain, bordir dan jahitan lebih bagus. Alhasil sekarang Preview tak hanya
menjual baju koko dengan satu harga lagi seperti sebelumnya.
Nah, untuk meningkatkan kinerja Preview adalah dengan
mengembangkan bisnis. Sejak dua tahun lalu Adrizal menawarkan kerja
sama kemitraan. Ada tiga model kemitraan yang ditawarkan. Pertama,
investasi silver/agen. Mitra jenis ini tidak perlu membuka toko
dan merekrut karyawan. Di sini sang mitra bertindak sebagai jaringan
pemasar, dengan modal awal Rp 5 juta dan minimum pembelian selanjutnya
Rp 3 juta. Margin keuntungan diperkirakan 30%-50%. Kedua, investasi gold/distributor. Di sini sang mitra dikenai joining fee
Rp 2 juta per tahun (masa kerja sama satu tahun) dengan pembelian
barang awal sebesar Rp 50 juta atau pembelian Rp 300 juta setahun.
Perkiraan margin keuntungan sebesar 40%-60%. Baik silver maupun gold tidak dikenai fee waralaba ataupun fee royalti.
Model kemitraan ketiga adalah investasi
platinum/gerai. Di sini mitra berhak memakai nama Preview di gerainya,
konsultasi dan pelatihan pembukuan, modal awal ikut serta Rp 150 juta
atau omset minimum Rp 600 juta setahun dengan masa kerja sama satu
tahun, bebas fee royalti dan lisensi selama program ekspansi
2010, margin keuntungan 30%-66% dengan omset yang lebih besar dari dua
paket kerja sama sebelumnya. “Dengan margin keuntungan yang ditawarkan,
jelas mereka sudah bisa BEP sebelum dua tahun. Dengan 300 potong per
tahun saja mereka sudah untung. Namun kemitraan ini bersifat fleksibel,
saya lihat orangnya dulu,” katanya.
Sugeng Riyadi salah satu agen baju koko Preview yang
menjalin kemitraan sejak tiga tahun lalu. Bagi Sugeng, Lebaran dan
Ramadan adalah momen yang paling baik untuk menjual Preview. Di bulan
puasa Sugeng bisa menjual lebih dari 100 potong baju koko Preview. Ia
menggunakan pola pemasaran online dan door to door
dari kantor ke kantor. Wilayah pemasarannya di Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur. Komposisi penjualan 50% transaksi lewat ruang maya (online) selebihnya ia jual ke kantor-kantor. Pemilik Toko Bintang Perlengkapan alat tulis dan fancy
di wilayah Kebayoran Jak-Sel ini mengaku sangat diuntungkan dengan
menjual Preview, karena peminatnya cukup banyak dan margin keuntungan
pun cukup besar. Di mata Sugeng, keunggulan baju koko Preview terletak
pada keberanian desainernya memainkan bordir. “Bordir-bordirnya menjadi trend-setter,” ujar Sugeng. Selain itu, satu item desain hanya dibuat 300 potong. “Ini menjadikan Preview eksklusif,” kata pria 38 tahun ini.
Margin keuntungan yang tinggi diakui pula oleh Nurul
Asma, agen Preview lainnya, yang punya wilayah pemasaran di Lampung.
“Bisa sampai 50%,” katanya. Menurut Nurul, pelanggan menyukai desain
Preview yang kerap menjadi trend-setter merek lain. Selain itu
rupanya ikon UJ dan Ustaz Ahmad menjadi alasan orang membeli Preview.
“Makanya saya pusing kalau ada konsumen yang minta model seperti yang
dipakai UJ, sebab jumlahnya kan tidak dibuat banyak,” katanya rada
mengeluh.
Adrizal sendiri bersyukur keluarganya dari 8
bersaudara dan orang tuanya saling bahu-membahu membantunya menjalankan
Preview. Bahkan dua adiknya sudah mulai belajar membangun merek sendiri
di Pasar Tanah Abang. “Karyawan kami sekitar 25 orang. Belum termasuk
mereka yang bekerja di bagian gudang,” ujarnya. Untuk produksinya
menggunakan sistem cut, make and trim atau outsourcing ke satu perusahaan garmen di Parung, Bogor, dengan menempatkan satu petugas quality control di sana.
Menurut Jasman Usman, sang konsultannya, Preview saat
ini sudah melewati masa kritis. “Saat ini Preview ada di level puncak.
Preview sedang leading di pasar. Kondisi ini memang membuat kami berupaya mempertahankan kinerja merek ini di pasar,” ujar Adrizal menyambut.
Kendati begitu, Anang Sukandar, pengamat business opportunity
(BO) dari Asosiasi Franchise Indonesia, mengingatkan bisnis baju koko
yang dirintis Adrizal dan Itang ini harus dijalankan dengan hati-hati.
Apalagi bila sudah membangun kemitraan lewat model BO atau kemitraan.
“Produknya harus memiliki ciri khas yang jadi identitasnya,” katanya.
Menurut Anang, bila sudah masuk ke BO artinya sudah masuk ke wilayah
ritel. Bila sudah masuk ke wilayah ini, sang pengelola harus melengkapi
varian produknya lebih banyak lagi (assortment). Hal kedua, lanjut Anang, pengelola juga harus mempunyai garis suplai yang memenuhi kriteria level of service, yakni paling sedikit 70%-80% orang yang dibidik berminat terhadap produknya.
Dalam visinya, Adrizal mengaku ke depan menginginkan
pakaian muslim bisa menjadi busana harian. Jadi, tidak hanya dipakai
saat beribadah, melainkan bisa dipakai ke mal, kantor atau ke mana saja.
Tak hanya itu, ia bersama Itang juga berencana mengembangkan usaha
Butik Itang lebih serius lagi. Itulah sebabnya dalam waktu dekat Butik
Itang di Tanah Abang hendak dipindahkan ke lokasi yang lebih sesuai
dengan konsep butiknya.
Yuyun Manopol & Siti Ruslina (sumber swa online)
No comments:
Post a Comment